OPINI – Teknologi tidak lagi hanya dideterminasi oleh kebijakan ekonomi politik, akan tapi sebaliknya. Para pengembang Silicon Valley tidak perlu mempertanggungjawabkan inovasi teknologi mereka pada realitas sosial, sebab mereka tidak memperoleh legitimasi dari masyarakat layaknya praktisi politik.
Para pengembang itu senantiasa mendesaian dengan mudah kemunculan teknologi baru secara masif dan dalam skala waktu yang lebih cepat. Teknologi telah bergeriliya menjadi juggernaut yang akan menggilas siapa pun yang tidak memberi perhatian padanya. Tidak heran, negara Amerika, China dan Rusia berlomba secara ketat dalam bidang teknologi tersebut.
Fenomena ledakan teknologi ini, mesti menjadi perhatian yang lebih serius, mengingat kita akan segera menghadapi sebuah peluang bonus demografi pada tahun 2023-2035 yang akan datang.
Mengapa disebut sebagai bonus, sebab pada tahun-tahun tersebut penduduk dengan angkatan usia produktif 15-64 tahun akan lebih tinggi dari usia non produktif, yakni berkisaran 70 persen dari total populasi kita yang ada di Indonesia.
Artinya, 100 orang di usia produktif hanya menanggung 40-50 masyarakat non produktif. Pada dasawarsa tersebut merupakan peluang emas bagi kita untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang dideterminasi oleh perkembangan teknologi juga mendesak kita untuk tidak melepaskan persoalan teknologi dari titik perhatian masyarakat pemuda usia produktif yang ada tersebut.
Adapun persoalan yang tersisa pada kita di Indonesia hari ini, adalah sebuah kecenderungan menjadikan teknologi sebagai media rekreasi dan meningkatkan produksi, surplus rekreasi tapi defisit kognisi.
Bila pada masa yang telah dahulu bahwa teknologi dihadirkan untuk mendorong produktifitas ekonomi manusia, hari ini teknologi malah menampilkan diri sebagai objek konsumsi dan media perluasan berita hoax.
Maka dengan demikian, kita di Indonesia tengah berhadapan dengan persoalan mentalitas yang sangat serius, dalam konteks bonus demografi yang menanti kita ditahun yang akan datang, apabila tertanam dalam paradigma kita bahwa teknologi tidak lebih dari komunitas para ahli-ahli media peningkatan produktifitas, maka yang terjadi yakni bonus demografi yang kerap kita agung-agungkan sebagai peluang untuk kemajuan Indonesia tidak hanya akan menjelma menjadi ancaman bagi republik yang kita tempati saat ini Indonesia.
Sementara itu dewasa ini, menjadi sangat penting untuk kembali memeriksa atau setidaknya membuat refleksi kritis atas sikap kita maupun praktik-praktik kepemidaan dalam masyarakat kita.
Upaya ini akan menjadi satu hal yang penting, karena pemuda sendiri senantiasa dituntut untuk mampu menjawab seluruh persoalan-persoalan kontemporer, sehingga manusia-manusia pemuda tidak ketinggalan zaman pada abad ke 21 dan seterusnya.
Sebagai bangunan argumen, bahwa keterlibatan pemuda dalam kehidupan sosial kita bukanlah sekedar memberikan sumbangan-sumbangan atas gagasan maupun liberalisasi pemikiran saja, melainkan keterlibatan pemuda seharusnya lebih mengakar dan masuk pada masalah-masalah riil yang terjadi dalam masyarakat kita akhir-akhir ini, apalagi tentang tindakan konkret atas isu-isu persoalan keadilan sosial, RUU KUHP, HAM, Kesetaraan Gender, Kedaulatan Petani, Kelestarian Ekologis, yang merupakan unsur-unsur esensial dalam ajaran paradigma gerakan pemikiran pemuda.
Ditengah keterbatasan penafsiran teks-teks gerakan pemuda, terutama menyangkut keberpihakan yang jelas pemuda atas masalah-masalah struktural yang dialami masyarakat. Sudah seharusnya para pemuda progresif sedianya menjadikan bahan koreksi terhadap semangat masyarakat pemuda kita di Indonesia. Olehnya, hanya kaum muda lah yang mampu menjawab setiap gejolak peristiwa dan ledakan teknologi yang ada dalam setiap sendi-dendi kehidupan masyarakat kita, dan hanya kaum muda lah yang mampu menata kembali tatanan negeri ini dengan baik.***
Moh. Taufik Abdullah, S.E., M.E
Penggiat Demokrasi & Peneliti di Institut Kajian Keuangan Negara dan Kebijakan Publik