Nasional, MediaSulteng.com – Setelah Kenaikan Pertamax, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan memberikan sinyal bahwa harga Pertalite dan LPG 3 kg akan naik menyusul Pertamax. Sinyal ia ungkap ketika meninjau Depo LRT Jabodebek di Jatimulya, Bekasi Timur, Jumat (1/4).
Untuk LPG 3 kg atau LPG melon kenaikan akan dilakukan bertahap karena harga tidak pernah naik sejak 2007 silam.
“Mengenai gas 3 kg itu kita bertahap. Jadi 1 April, nanti Juli, nanti September. Itu semua bertahap dilakukan oleh pemerintah,” lanjut Luhut.
Sementara itu untuk Pertalite, Luhut belum mengungkap kapan kenaikan akan dilakukan.
Luhut menambahkan kenaikan itu sulit dihindari di tengah lonjakan harga minyak yang terjadi akibat konflik Ukraina dan Rusia belakangan ini, sehingga kian mahalnya harga minyak dan gas di pasar global. Terutama, LPG 3 Kg yang tak pernah naik sejak 2017 silam.
Kendati belum menyatakan kapan akan dinaikkan, namun Luhut menyebut kenaikan akan dilakukan secara bertahap.
“Overall (secara keseluruhan) yang akan terjadi nanti, Pertamax, Pertalite (naik). Premium belum. Ya, semua akan naik. Nggak akan nggak ada yang naik itu,” ungkapnya ketika meninjau Depo LRT Jabodebek di Jatimulya, Bekasi Timur, Jumat (1/4).
Menanggapi itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memproyeksikan harga baru Pertalite tak akan jauh-jauh dari Pertamax, yakni di level Rp12 ribuan per liter. Hal itu dilihat dari aturan Keputusan Menteri ESDM Nomor 62.K/12/MEM/2020.
“Kalau misalnya mengacu atau menggunakan Kepmen 62 sudah pasti harganya enggak akan jauh beda dengan Pertamax,” jelasnya kepada media, Senin (4/4).
Sedangkan, untuk LPG 3 kg ia proyeksikan naik sekitar Rp1.000 per kg guna mengurangi beban subsidi pemerintah.
LPG subsidi memiliki ukuran berat 3kg. Sementara, Bright Gas yang tak disubsidi tersedia dalam ukuran 5,5 kg dan 12 kg.
Mamit sendiri mengaku tak mendukung kenaikan harga LPG atau Pertalite karena akan menggerus daya beli masyarakat. Apalagi, sebentar lagi masyarakat akan merayakan Lebaran dan pengeluaran bakal membengkak.
Jika dipaksakan naik, ia khawatir imbasnya akan sampai ke harga makanan dan inflasi bisa naik hingga dua digit. Jika begitu, bukan tak mungkin terjadi gejolak sosial dan politik.
“Beban masyarakat makin berat dengan kondisi sekarang ini, juga cost (biaya) politik jangan sampai ada kericuhan,” ucapnya.
Ia mengaku paham dengan posisi pemerintah yang saat ini terjepit dan beban subsidi kian membengkak. Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah mengubah skema subsidi LPG dari menyasar barang ke individu. Adapun data yang bisa dipakai adalah penerima subsidi listrik PLN 450 VA dan 900 VA.
“Saya usulkan pakai data PLN, kalau begitu saya yakin tidak akan ada kebocoran karena sudah jelas yang dapat LPG,” usul Mamit.
Peneliti di Alpha Research Database Ferdy Hasiman menilai suka tidak suka kenaikan harga minyak global akibat perang Rusia-Ukraina akan membuat Pertamina menaikkan Pertalite dan LPG.
Jika melihat komposisi LPG RI, mayoritas berasal dari impor, sehingga imbas kenaikan harga internasional langsung dirasakan oleh Pertamina.
Ferdy menilai kunci kenaikan harga minyak dan gas ada di Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Sebab, pemerintah sebetulnya juga dapat durian runtuh (windfall) dari kenaikan komoditas dan jika pendapatan lebih tersebut bisa dialokasikan ke subsidi migas, maka ia nilai kenaikan harga masih bisa ditahan.
“Itu kuncinya di Ibu Sri Mulyani, apakah di tengah Lebaran mau menaikkan ke Pertamina? Kalau APBN kita kencang kan sudah banyak penerimaan dari tambang dan mungkin bisa dialihkan ke sana (migas),” pungkasnya.
Sumber : CNN Indones1a